Strategi Militer - Informasi Pertahanan dan Keamanan Indonesia

Strategi Militer - Informasi Pertahanan dan Keamanan Indonesia


Pesawat Australia Mendarat Setelah Sukhoi Ancam Tembak

Posted: 22 Oct 2014 11:05 PM PDT

Sebuah pesawat milik Australia tipe Beechcraft 95 tiba-tiba melintas tanpa izin di wilayah udara RI pada Rabu (22/10). Tak pelak, petugas keamanan udara langsung mengirim pesawat Sukhoi tipe 30MK2 untuk memaksa pesawat asing itu turun.

Pesawat Australia Mendarat Setelah Sukhoi Ancam Tembak

Ada empat pilot pesawat Sukhoi yang berasal dari Skuadron Udara 11 Hasanuddin Makassar yang menggiring pesawat asing itu agar mendarat di Landasan Udara (Lanud) Sam Ratulangi (Lanudsri) Manado pukul 11.35 Wita.

Berdasar informasi yang dirangkum Manado Post (Jawa Pos Group), pesawat yang terbang dari Darwin, Australia, itu hendak menuju Cebu, Filipina. Pesawat tersebut dipiloti Mcwine Richard dan Kopilot Jeklyn Paul, keduanya warga Australia.


Saat melintas pada ketinggian 10.000 kaki di wilayah udara Indonesia, tepatnya di wilayah Kupang, NTT, pesawat tersebut tertangkap radar Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) milik TNI di Makassar sekitar pukul 10.00.

Waktu itu, radar pesawat tersebut menunjukkan kode lasa eks (tidak dikenali radar) dan tidak ada flight clearance (tidak ada izin melintas). Saat itulah TNI mengambil tindakan cepat dengan memerintahkan Skuadron Udara 11 Hasanuddin Makassar untuk mengirimkan dua unit pesawat Sukhoi yang dikendalikan empat penerbang.

Masing-masing Mayor Pnb David Alihamzah, Mayor Pnb Wanda Surijohansya, Kapten Pnb Rahman Fauzi, dan Lettu Pnb M Idris. Tidak berselang lama, pesawat tersebut di-intercept atau dipotong.


Pesawat milik Australia tipe Beechcraft 95 dipaksa mendarat di di Landasan Udara (Lanud) Sam Ratulangi (Lanudsri) Manado. Foto: dok.JPNN

Saat berada di wilayah Ambon, para penerbang Sukhoi memerintahkan pesawat asing tersebut untuk melakukan force down (mendarat darurat). Namun, pilot pesawat Australia itu tidak mengindahkan peringatan penerbang Indonesia.

Karena perintah itu tidak diindahkan, ketika memasuki wilayah udara Sulawesi, para penerbang Sukhoi mengancam akan menembak jatuh pesawat tidak berizin tersebut jika tidak segera mendarat darurat di Lanudsri.

Setelah diancam tembak itulah, akhirnya dua awak pesawat asing tersebut mendaratkan pesawat mereka di Lanudsri dengan dikawal dua unit Sukhoi.

Berdasar pantauan wartawan, setelah mendarat, dua warga asing tersebut langsung digeledah dan diamankan pihak Lanudsri. Sementara itu, pesawat yang digunakan dipasangi garis polisi oleh INAVIS Polresta Manado.

Menurut Komandan Lanudsri Kolonel Pnb Hesly Paat, pihaknya mendapatkan informasi sejak pukul 10.00 Wita.

"Sekitar pukul 11.35 pesawat asing itu mendarat di Lanudsri. Saat diperiksa, barang-barang yang mereka bawa tidak mencurigakan. Hanya ada barang pribadi," tuturnya.

Menurut Hesly, pesawat Australia itu jenis pesawat latih dan dalam kondisi baik. Dia mengatakan, dua pilot asing tersebut masih diinterogasi petugas. Kalau memang surat lengkap atau sudah ada izin dari Mabes TNI, pesawat tersebut segera terbang lagi ke tujuan awal mereka.

"Tujuan mereka hanya mengantar pesawat ke Filipina. Kemampuan terbang pesawat kira-kira enam jam dan sudah terbang sekitar empat jam," tegasnya. (www.jpnn.com)

Teknologi Anti-Radar, Panglima Minta Uji dan di Terapkan Untuk Tank TNI

Posted: 22 Oct 2014 10:31 PM PDT

SEPULUH peraih penghargaan HUT Ke-69 TNI berdiri di panggung kehormatan Mabes TNI Cilangkap, 12 Oktober lalu. Mereka merupakan bagian dari upaya TNI mencari anak bangsa yang mampu menciptakan teknologi canggih untuk kepentingan militer.


Sebagai penghargaan atas jerih payah penciptaan karya itu, TNI berjanji mengembangkan dan menggunakan teknologi karya anak bangsa tersebut.

Salah seorang peraih penghargaan itu adalah Bambang Riyanto. Dia mewakili tim IPB yang memenangi kategori inovasi partisipasi publik. Saat naik ke panggung, dia tampak gugup berada di antara ribuan personel TNI yang hari itu mengikuti upacara tersebut.

Apalagi penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Selain kalangan akademis, penghargaan diberikan kepada para inovator dari masyarakat umum, kepala daerah, serta kalangan militer.


''Sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan militer pasti akan kami kembangkan. Apalagi (karya) itu tidak mahal dan bisa mengurangi ketergantungan kita pada pihak luar,'' ujar Moeldoko dalam sambutannya.

Selain IPB, sembilan inovator lain peraih penghargaan adalah Litbang TNI-AD yang merancang bangun senjata Dopper, Litbang TNI-AL yang membuat prototipe swamp boat, serta Litbang TNI-AU yang membikin bom tajam BT-500 untuk pesawat standar NATO.

Di bidang non-alutsista, TNI-AD menyumbangkan pendekatan indeks vegetasi citra satelit pengindraan jarak jauh. Inovasi itu berguna untuk mendeteksi samaran pasukan musuh di medan tertutup.

Lalu, TNI-AL merancang pos AL mandiri energi untuk kawasan terpencil. Sementara itu, TNI-AU membuat jaring komunikasi terintegrasi untuk mewadahi jaringan C4ISR (command, control, communications, computers, intelligence, surveillance, and reconnaissance).

Tiga sisanya diberikan kepada pemerintah daerah dan organisasi publik terkait dengan kebijakan. Di antaranya, RRI yang mengembangkan siaran di kawasan perbatasan; Pemkab Belu, NTT, yang mendukung TNI di perbatasan dengan Timor Leste; serta Pemprov Kaltim yang membuat kawasan ketahanan pangan.

Tim IPB beranggota Bambang bersama dua rekannya. Yakni, Akhiruddin Maddu dan Esa Ghanim Fadhallah. Bambang merupakan dosen di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Akhiruddin adalah kepala Departemen Fisika, dan Esa Ghanim merupakan mahasiswa S-2 Teknologi Pascapanen IPB.

Mereka berhasil menciptakan teknologi tinggi antiradar dari bahan-bahan organik sederhana. Yaitu, tulang ikan dan cangkang udang. Bagi kebanyakan orang, dua bahan tersebut justru disisihkan dan dibuang ke tempat sampah.

Tapi, di tangan Bambang, Akhir, dan Esa, tulang ikan dan cangkang udang justru sangat berguna untuk menciptakan karya inovasi yang murah serta canggih.

Menurut Bambang, dua jenis bahan tersebut mengandung komposit chitosan dan hidroksiapatit yang mampu menyerap gelombang radar. Karena gelombang radar tidak memantul, kendaraan tempur yang menggunakan teknologi tersebut akan sulit dideteksi radar musuh.

Ditemui di kampus IPB, Selasa (14/10), Bambang mengakui bahwa temuan timnya bukanlah teknologi antiradar pertama yang berbahan organik. Sebelumnya, pada 2011, Tiongkok merilis penggunaan teknologi antiradar berbahan dasar gelatin.

''Tapi, ketika kami teliti lebih lanjut, kemampuan gelatin yang berbahan dasar protein itu terbatas. Kami lalu mengganti bahannya dengan karbohidrat,'' tuturnya.

Teknologi yang dikembangkan Bambang cs kini bakal memperkuat kemampuan persenjataan TNI. Bersama tim peneliti dari internal TNI, mereka akan mengembangkan teknologi tersebut agar kemampuannya makin tinggi dan penggunaannya semakin praktis.

Tim ITB tersebut awalnya tidak menyangka panglima TNI akan memberikan perhatian serius terhadap hasil penelitian mereka.

Mereka memang sengaja mengembangkan teknologi militer, namun sebatas untuk kepentingan penelitian. Tidak disangka, penelitian tersebut diketahui pihak militer dan mereka ditantang untuk mengaplikasikannya dalam sistem persenjataan TNI.

Inovasi tersebut semula merupakan bahan skripsi Esa saat masih menempuh S-1 di Jurusan Teknologi Hasil Perairan IPB pada 2011. Kala itu, Bambang dan Akhir menantang Esa untuk membuat penelitian skripsi yang terkait dengan militer, khususnya antiradar.

Di bawah bimbingan dua dosen tersebut, Esa mulai merancang penelitian yang sayangnya hasilnya kurang baik. Dia lalu mencoba lagi pada 2012 dengan bahan yang berbeda. Kali ini hasilnya dinilai cukup sukses, meski ada kekurangan di sana-sini.

Belum puas, mahasiswa 23 tahun itu pun mengajak Bambang dan Akhir berdiskusi untuk menyempurnakan karya tersebut. Ketiganya lalu memutuskan untuk mengembangkan lagi penelitian itu dengan bahan yang mengandung chitosan dan hidroksiapatit yang terdapat dalam tulang ikan serta cangkang udang.

Di luar dugaan, hasilnya cukup memuaskan. Dua bahan tersebut dianggap paling baik jika dibandingkan dengan bahan-bahan penelitian sebelumnya.

Di tengah rasa syukur itu, kendala muncul lagi. Esa tidak menemukan laboratorium yang cocok untuk menguji penelitian tersebut. Lagi-lagi, kendala infrastruktur menjadi problem. Hal itu diakui Akhiruddin.

Dosen 48 tahun tersebut menuturkan, infrastruktur penelitian di Indonesia masih sangat terbatas. Akibatnya, penelitian sering mandek di tengah jalan karena ketiadaan sarana-prasarana tersebut.

''Kami selaku dosen hanya bisa membantu lewat networking,'' tuturnya.

Tiga bulan lamanya mereka menjelajahi laboratorium sejumlah universitas di Indonesia. Termasuk di ITS dan ITB. Mereka tidak mendapatkan alat uji yang cocok untuk penelitian itu. Bila akhirnya tidak menemukannya juga, mereka berencana membawanya ke laboratorium di luar negeri.

Namun, akhirnya mereka menemukan yang dicari di laboratorium Universitas Indonesia (UI). ''Awalnya kami tidak sampai kepikiran bahwa UI punya alat uji itu,'' timpal Esa.

Dia amat girang penelitiannya bisa diuji di lab UI. Hasilnya pun langsung keluar dalam waktu sehari.

Penelitian tersebut menghasilkan prototipe teknologi antiradar. Berkat karya itu, Bambang cs lalu diminta mendaftar untuk melakukan presentasi di TNI. Rupanya, selain tim IPB, sudah ada 266 peneliti lain yang ikut kompetisi yang digagas TNI tersebut.

Tim Bambang mendapat jadwal terakhir untuk presentasi. ''Karya-karya yang dipresentasikan luar biasa. Kami sempat minder melihatnya,'' tutur Bambang.

Beberapa hari kemudian, telepon yang mengagetkan itu datang juga. Tim IPB diminta mempresentasikan teknologi antiradar tersebut di hadapan panglima TNI secepatnya.

Antara kaget dan tidak percaya, Bambang tidak langsung mengiyakan permintaan itu. Sebab, timnya butuh persiapan. Akhirnya, setelah mengebut selama seminggu untuk mempersiapkan diri, mereka tampil dengan peralatan plus bahan presentasi karya.

Kerja keras mereka tidak sia-sia. Panglima TNI mengapresiasi penelitian tersebut. ''Beliau minta langsung uji coba di tank. Kami kaget lagi,'' kenangnya.

Mereka kembali harus bekerja keras untuk merampungkan peralatan antiradar tersebut. Hasilnya cukup memuaskan.

Kini setelah karya mereka dinyatakan berhak meraih penghargaan, Bambang dkk tidak bisa berleha-leha. Pasalnya, mereka harus segera bekerja sama dengan tim Litbang TNI untuk mengembangkan teknologi tersebut agar lebih simpel dan praktis.

Salah satu faktor TNI mau menggunakan teknologi karya Bambang cs adalah biayanya yang terjangkau serta bahannya yang mudah didapatkan. Sebagai negara maritim, Indonesia tidak akan kekurangan bahan organik chitosan dan hidroksiapatit. TNI berencana memproduksi teknologi tinggi itu di PT Pindad (Perindustrian Angkatan Darat).

''Kami tentu saja bangga penelitian kami dihargai setinggi itu,'' tandas Bambang. (www.jpnn.com)

TNI AD Uji Tank M-113

Posted: 22 Oct 2014 10:11 PM PDT

Seusai perayaan HUT TNI, Ranpur baru M-113 langsung menghadapi tantangan selanjutnya. Yaitu uji ketangguhan yang dilakukan di Pusdikkav di Bandung Jawa Barat. Dalam demontrasi ini, Gavin harus menghadapi berbagai tantangan. Dan hasilnya, semua ujian bisa terlewati dengan baik.


Berbagai ujian itu diantaranya menanjak hingga kemiringan 60 derajat, melewati jalanan tak rata, hingga uji amfibi. Bahkan, Tank angkut pasukan ini sengaja dibenamkan dalam lumpur lalu direcovery oleh Ranpur sejenis. Semua tantangan ini merupakan refleksi dari kenyataan sesungguhnya yang nanti dihadapi di lapangan.


Informasi lainnya yang diperoleh ARC adalah, TNI-AD berencana mengakuisisi sebanyak 80 unit M-133. Nantinya bersama Marder dan Anoa, M-113 akan menjadi inti kekuatan Batalyon Infantri Mekanis. Selain itu, M-113 yang diperoleh TNI-AD ternyata rakitan Belgia. Dimana usia rata-rata M-113 ini cukup muda, yaitu buatan akhir tahun 1980an. Kelebihan lainnya, karena digunakan oleh negara yang relatif damai, Ranpur ini usia komponennya masih cukup panjang. Banyak diantaranya bahkan belum sampai menempuh jarak 10 ribu km. Dan selama ini, Belgia menyimpan Ranpur-ranpurnya dengan cukup apik, sehingga sangat layak digunakan langsung. Belgia sendiri pernah mengoperasikan hingga lebih dari 500 unit M-113. Belgia juga memodifikasi M-113 miliknya dengan perbaikan suspensi dan proteksi. (ARC)





No comments